Rabu, 10 Juni 2015

Salam Damai...




"Nak ora oleh ngampiri ning pojok kono, kapan aku iso salaman karo Narto, la ketemune wae mung seminggu sepisan, nak pas misa kaya ngene," kata Sardi (nama samaran).
Reaksi itu muncul setelah dia mendengar pesan pastur ketika mengikuti misa Minggu Palma, di stasi Tunggulrejo, Jumantono Karanganyar, awal April 2015. Saat itu romo berpesan pada umat untuk tidak terlalu jauh melangkah ketika memberi salam damai bagi umat yang lain. Cukup kanan kiri depan belakang, tanpa perlu beringsut dari tempat duduk. Alasanya, dikhawatirkan mengganggu karena salam damai bukanlah bagian dari ritual liturgi. Lagi pula Paus Fransiskus juga tidak berkenan, karena salam damai tidak ada dalam tradisi gereja di Vatikan.
Apa yang dirasakan Sardi ternyata juga dirasakan umat lainnya di Paroki Santo Pius X Karanganyar, terutama bagi umat yang sudah berumur. Apalagi mereka sudah sejak kecil terbiasa bersalaman dengan banyak orang ketika mengikuti misa atau liturgi ekaresti, baik di gereja maupun di lingkungan. "Kalau tidak salaman dengan banyak orang rasane kok ora marem," kata salah seorang umat.
Bersalaman, menurut paham manusia Jawa, tidak hanya sebatas mengulurkan tangan dan bertemu serta bersentuhan dengan tangan orang lain. Banyak makna yang terkandung dari salaman itu. Ketika orang bersalaman, ada komunikasi dua arah. Lebih dar itu, seseorang yang bersalaman adalah orang yang hendak mengabarkan suka cita atau kabar gembira pada orang lain yang diajak bersalaman, meski kabar suka cita itu hanya sebatas simbol, senyum, dan tidak diucapkan. Makna lain, saat bersalaman, seseorang juga ingin menyampaikan maaf jika yang bersangkutan merasa bersalah.
Sehingga, semakin banyak orang yang diajak bersalaman semakin banyak orang yang memberi dan menerima kabar suka cita, semakin banyak orang bersalaman semakin banyak orang saling bermaafan. Jadi kurang pas kalau hanya untuk bersalaman saja saat misa saja harus dibatasi. Bukankah di Injil, kita disuruh mengabarkan suka cita pada orang sebanyak mungkin.
Lantas, apakah salam damai bukan bagian dari liturgi ekaresti? Coba tengok buku Madah Bakti. Di buku yang sangat legendaris bagi umat Katolik itu, salam damai dan doa salam damai masuk dalam skema tata perayaan ekaristi yang selama ini menjadi puncak hidup kristen. Dalam skema itu, salam damai masuk di bagian ketiga (liturgi ekaresti) bagian komuni, sejajar dengan doa Bapa Kami (embolisme), Anak Domba Allah, lagu komuni, dan doa penutup.
Banyaknya versi lagu salam damai juga membuktikan bahwa ritual salam damai tidak hanya sebatas untuk "genep-genep" dalam misa. Nah, mari kita bersalaman, bersalam damai untuk mengabarkan suka cita pada banyak orang. Matur nuwun, berkah dalem.(Langgeng Widodo).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar