Rabu, 10 Juni 2015
Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan
Aku menghadiri pengajian di masjid Al Fatah, Jongke Permai Karanganyar malam itu, Kamis (4/6). Bukan karena saya "murtad" meninggalkan gereja tapi aku merasa perlu datang ke acara itu. Kenapa?
Karena yang memberi tausyah adalah wakil bupati Rohadi Widodo, orang yang lama kukenal jauh sebelum menjabat sebagai orang kedua di bumi Intanpari. Malam itu tausyah wakil bupati dari PKS tersebut terasa menyejukan. Tidak ada kata yang menyudutkan agama atau keyakinan lain, sebagai cap yang ditujukan pada politisi PKS selama ini. Apakah karena ada satu orang yang beda keyakinan atau pengajian itu terbuka sehingga tidak ada hal-hal menyudutkan? Tak sesederhana itu, mungkin.
Seorang teman dari Semarang pernah berceritera. Menurut dia, yang terpenting dalam menjalani kehidupan sosial di tengah masyarakat majemuk dan beragam adalah sikap terbuka tanpa sekat. Kalau ada hubungan harmonis, baik secara personal maupun kelembagaan, maka mereka yang mayoritas dan punya keyakinan berbeda akan sungka berbicara yang anah-aneh. Dengan adanya komunikasi, kalau ada masalah akan mudah dicari titik temu penyelesaian.
Sayang, selama ini kalau muncul permasalahan tentang perbedaan keyakinan, orang Katolik sering mengambil jarak, menjauh, dan bila perlu "membangun tembok yang tinggi dan tebal". Ini patut disayangkan, kalau memang ya. Sebab ini justru membahayakan sebagai kaum minoritas. Mestinya, bagaimana bisa membaur, hidup di tengah kemajemukan.
Menurut dia, untuk bisa survive hidup dalam kemajemukan, baik di lingkungan maupun tempat kerja, sejak dini anak-anak memang harus dibiasakan hidup dalam perbedaan. Kalau hidup di tengah perbedaan maka dia akan menghargai perbedaan itu. Janganlah anak-anak hanya bermain dan berkegiatan di gereja saja. Yakinlah, dengan bekal hidup di tengah kemajemukan sejak dini, kelak jika sudah dewasa mereka akan survai di masyarakat majemuk, karena sudah terlatih dan terbiasa. Syukur-syukur menjadi pemimpin atau setidaknya garam dan terang dunia di masyarakat plural. Bukanlah nyala lilin di tempat terang itu sia-sia, demikian juga garam di tengah lautan yang sudah asin.
Sewaktu remaja, teman sekampungku itu menjadikan gereja melalui kelompok kategorial seperti Mudika (OMK), KKMK, PRMK, dan Pemuda Katolik, atau paguyuban di lingkungan maupun di paroki ibarat pompa bensin. Di situ dia bisa "ngecas" untuk mendapatkan amunisi sebagai bekal untuk bergaul di masyarakat majemuk. Dengan bekal amunisi dan keyakinan iman akan Yesus Kristus yang kuatitu, dia mengaktualisasikan kemampuannya di luar tembok. Dia yakin se yakin-yakinnya, kualitas dan kapasitas orang Katolik tidak kalah. Bisa diandalkan dan pintar-pintar, apalagi ditambah bekal iman yang kuat. Namun itu saja tidak cukup, kalau mereka hanya berkutat dalam radius seratus meter dari seputar altar. Maap, seperti katak dalam tempurung.
Aku pun mengamini pengalaman temanku itu. Dan aku jadi teringat pesan Syahrir, salah satu pahlawan nasional yang ditulis dalam buku berjudul Negarawan Humanis, Demokrat Sejati. Di buku itu, dia berpesan : Hidup yang tidak pernah dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan. (Vladimir)
Salam Damai...
"Nak ora oleh ngampiri ning pojok kono, kapan aku iso salaman karo Narto, la ketemune wae mung seminggu sepisan, nak pas misa kaya ngene," kata Sardi (nama samaran).
Reaksi itu muncul setelah dia mendengar pesan pastur ketika mengikuti misa Minggu Palma, di stasi Tunggulrejo, Jumantono Karanganyar, awal April 2015. Saat itu romo berpesan pada umat untuk tidak terlalu jauh melangkah ketika memberi salam damai bagi umat yang lain. Cukup kanan kiri depan belakang, tanpa perlu beringsut dari tempat duduk. Alasanya, dikhawatirkan mengganggu karena salam damai bukanlah bagian dari ritual liturgi. Lagi pula Paus Fransiskus juga tidak berkenan, karena salam damai tidak ada dalam tradisi gereja di Vatikan.
Apa yang dirasakan
Sardi ternyata juga dirasakan umat lainnya di Paroki Santo Pius X
Karanganyar, terutama bagi umat yang sudah berumur. Apalagi mereka sudah
sejak kecil terbiasa bersalaman dengan banyak orang ketika mengikuti
misa atau liturgi ekaresti, baik di gereja maupun di lingkungan. "Kalau
tidak salaman dengan banyak orang rasane kok ora marem," kata salah
seorang umat.
Bersalaman, menurut paham manusia Jawa, tidak hanya sebatas mengulurkan tangan dan bertemu serta bersentuhan dengan tangan orang lain. Banyak makna yang terkandung dari salaman itu. Ketika orang bersalaman, ada komunikasi dua arah. Lebih dar itu, seseorang yang bersalaman adalah orang yang hendak mengabarkan suka cita atau kabar gembira pada orang lain yang diajak bersalaman, meski kabar suka cita itu hanya sebatas simbol, senyum, dan tidak diucapkan. Makna lain, saat bersalaman, seseorang juga ingin menyampaikan maaf jika yang bersangkutan merasa bersalah.
Sehingga, semakin banyak orang yang diajak bersalaman semakin banyak orang yang memberi dan menerima kabar suka cita, semakin banyak orang bersalaman semakin banyak orang saling bermaafan. Jadi kurang pas kalau hanya untuk bersalaman saja saat misa saja harus dibatasi. Bukankah di Injil, kita disuruh mengabarkan suka cita pada orang sebanyak mungkin.
Lantas, apakah salam damai bukan bagian dari liturgi ekaresti? Coba tengok buku Madah Bakti. Di buku yang sangat legendaris bagi umat Katolik itu, salam damai dan doa salam damai masuk dalam skema tata perayaan ekaristi yang selama ini menjadi puncak hidup kristen. Dalam skema itu, salam damai masuk di bagian ketiga (liturgi ekaresti) bagian komuni, sejajar dengan doa Bapa Kami (embolisme), Anak Domba Allah, lagu komuni, dan doa penutup.
Banyaknya versi lagu salam damai juga membuktikan bahwa ritual salam damai tidak hanya sebatas untuk "genep-genep" dalam misa. Nah, mari kita bersalaman, bersalam damai untuk mengabarkan suka cita pada banyak orang. Matur nuwun, berkah dalem.(Langgeng Widodo).
Bersalaman, menurut paham manusia Jawa, tidak hanya sebatas mengulurkan tangan dan bertemu serta bersentuhan dengan tangan orang lain. Banyak makna yang terkandung dari salaman itu. Ketika orang bersalaman, ada komunikasi dua arah. Lebih dar itu, seseorang yang bersalaman adalah orang yang hendak mengabarkan suka cita atau kabar gembira pada orang lain yang diajak bersalaman, meski kabar suka cita itu hanya sebatas simbol, senyum, dan tidak diucapkan. Makna lain, saat bersalaman, seseorang juga ingin menyampaikan maaf jika yang bersangkutan merasa bersalah.
Sehingga, semakin banyak orang yang diajak bersalaman semakin banyak orang yang memberi dan menerima kabar suka cita, semakin banyak orang bersalaman semakin banyak orang saling bermaafan. Jadi kurang pas kalau hanya untuk bersalaman saja saat misa saja harus dibatasi. Bukankah di Injil, kita disuruh mengabarkan suka cita pada orang sebanyak mungkin.
Lantas, apakah salam damai bukan bagian dari liturgi ekaresti? Coba tengok buku Madah Bakti. Di buku yang sangat legendaris bagi umat Katolik itu, salam damai dan doa salam damai masuk dalam skema tata perayaan ekaristi yang selama ini menjadi puncak hidup kristen. Dalam skema itu, salam damai masuk di bagian ketiga (liturgi ekaresti) bagian komuni, sejajar dengan doa Bapa Kami (embolisme), Anak Domba Allah, lagu komuni, dan doa penutup.
Banyaknya versi lagu salam damai juga membuktikan bahwa ritual salam damai tidak hanya sebatas untuk "genep-genep" dalam misa. Nah, mari kita bersalaman, bersalam damai untuk mengabarkan suka cita pada banyak orang. Matur nuwun, berkah dalem.(Langgeng Widodo).
Langganan:
Postingan (Atom)